Perhutanan Sosial Sebagai Program Pengentasan Kemiskinan
Perhutanan Sosial merupakan suatu terobosan kebijakan kehutanan nasional yang bertujuan mengurangi kemiskinan, penggangguran dan ketimpangan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan. Tercatat total penduduk miskin di areal hutan Indonesia berjumlah 10,2 juta jiwa atau 36,73 % dari total penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 5 Desember 2017 . Oleh karena itu, kebijakan Perhutanan Sosial menjadi salah satu program kesejahteraan masyarakat guna pengentasan kemiskinan terutama bagi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Tujuan perhutanan sosial tersebut selaras dengan terdapatnya 518 Nagari/Desa di Sumatera Barat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan yang masyarakatnya menggantungkan hidup dan perekonomiannya terhadap hutan. Sementara, itu sekitar 364.510 jiwa atau sekitar 6,87 % total penduduk Sumatera Barat berada di angka garis kemiskinan. Dan sekitar 68,9 % penduduk miskin tersebut tinggal di daerah pedesaan yang diindikasikan berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (Sumber : BPS Sumbar dalam angka september 2017).
Sebagai provinsi yang memiliki jumlah kawasan hutan yang cukup besar yaitu seluas 2.300.058 Ha atau sekitar 57 % dari keseluruhan luas wilayahnya. Dari luasan kawasan hutan tersebut, seluas 610.688 Ha dimasukkan kedalam peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS) yang diperuntukkan pengelolaan dan penguasaan haknya bagi masyarakat melalui skema perhutanan sosial.
Hingga pertengahan tahun 2018 ini, implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Sumatera Barat berjalan maju. Keseluruhan capaian perhutanan sosial Sumatera Barat sudah menyentuh angka 271.305 hektar atau sekitar 44 % dari PIAPS dengan rincian 150.405 Hektar yang telah keluar izinnya atau sekitar 25% dari target yang telah dikelola oleh 113 kelompok. Kemudian terdapat 120.474 hektar, pada 59 kelompok/lembaga sedang proses pengajuan/menunggu keluar izin. Sehingga jumlah kelompok perhutanan sosial secara keseluruhan adalah 172 kelompok/lembaga. (Data PHBM Sumbar, Juni 2018 Sumber : Dishut Sumbar).
Proses perjalanan perhutanan sosial, terbagi kedalam dua tahapan besar yaitu (1) pengusulan pengelolaan hutan oleh masyarakat (penyiapan sebelum izin), dan (2) implementansi setelah hak dan izin diberikan oleh pemerintah. Tahapan kedua pasca izin (pengembangan) inilah yang menjadi titik pembuktian perhutanan sosial untuk pengentasan kemiskinan serta kemakmuran rakyat. Disisi lain, dalam pencapaian tujuan perhutanan sosial ditemui kendala pelaksanaan karena masih lemahnya dukungan kegiatan dan anggaran bagi lembaga/kelompok perhutanan sosial dalam mengembangkan usaha berbasiskan potensi ataupun fasilitasi peningkatan kapasitas mereka.
Sedangkan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial telah memerintahkan pemerintah, pemerintah daerah termasuk pihak terkait melakukan serangkaian kegiatan fasilitasi pasca izin seperti penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, manajemen usaha, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan.
Fasilitasi yang dimaksud tentu dilaksanakan dengan tersedianya anggaran yang optimal. Karena tidak bisa dipungkiri ketersediaan anggaran merupakan salah satu prasyarat penting untuk mendukung keberlanjutan implementasi perhutanan sosial di tingkat tapak. Untuk menggambarkan besaran dan item kebutuhan anggaran pengembangan perhutanan sosial dalam 1 tahun awal setelah diberikannya izin serta melihat ketersediaan dukungan anggaran pada tingkat Provinsi, diuraikan pada bagian-bagian berikut ini:
1. Posisi dan Kebutuhan Anggaran Pengembangan Perhutanan Sosial
Total pendapatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2018 sebesar Rp. 6,4 Triliun sementara total belanja sebesar Rp 6,6 Triliun. Sedangkan anggaran belanja total untuk Dinas Kehutanan dalam APBD tahun 2018 berjumlah Rp. 89 miliyar. Persentasi total belanja Dinas Kehutanan terhadap total belanja provinsi Sumatera Barat sebesar 1,35%. Dari Rp. 89 Milyar tersebut anggaran Dinas Kehutanan untuk belanja program berjumlah Rp. 40 Miliyar.
Berdasarkan belanja program tersebut terdapat Rp. 2,5 Milyar anggaran yang relevan untuk kegiatan-kegiatan program perhutanan sosial yang terdiri dari:
Dari jumlah anggaran Perhutanan Sosial dalam APBD 2018 diatas telah tergambar komitmen yang cukup baik, namun untuk mendukung implementasi kegiatan pasca izin bagi 113 kelompok/lembaga, alokasi belanja untuk peningkatan kapasitas SDM Pengelola HKm, HN, HTR dan Hutan Rakyat Kemitraan (Angka 3, pada tabel 2), seterusnya belanja untuk penyiapan, pembinaan dan pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan nagari, hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat kemitraan (angka 4, pada tabel 2) dan Alokasi untuk pengembangan unit percontohan (angka 7, pada tabel 2) dengan jumlah Rp. 1.441.471.800 (Rp. 1.4 Milyar) tidaklah memadai dalam penyelanggaran pengembangan perhutanan sosial.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Perkumpulan Qbar untuk pengembangan kelompok perhutanan sosial yang telah mendapatkan izin dalam 1 tahun awal, biaya yang dibutuhkan minimal Rp.3.149.875.000 (Rp. 3.1 Milyar) dengan rincaian anggaran Rp. 27.875.000 untuk satu kelompok/lembaga berdasarkan jumlah 113 kelompok perhutanan sosial yang sudah mendapatkan izin di Sumatera Barat. Karena kegiatan pengembangan 5 skema perhutanan sosial merupakan kegiatan utama setelah izin, tentunya anggaran untuk pengembangan tersebut mendapatkan porsi yang optimal dengan penentuan kegiatan yang terukur pula. Sehingga pelaksanaan kegiatan yang tidak berkorelasi langsung terhadap peningkatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat harus diminimalisir.
Dari alokasi kegiatan untuk semua pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan nagari, hutan tanaman rakyat hutan kemitraan pada tabel 2, diketahui mengalami kekurangan anggaran sesuai estimasi tabel 3. Pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat diharapkan tentunya menemukan peluang pembiayaan yang lebih banyak untuk dapat mengalokasikan anggaran yang optimal bagi pengembangan perhutanan sosial.
2. Peluang Penganggaran Perhutanan Sosial
Salah satu peluang pengangaran yang bisa disatukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat adalah melalui Dana Bagi Hasil- Dana Reboisasi (DBH DR). DBH – DR merupakan dana bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan konsekuensi peralihan kewenangan kehutanan kepada pemerintah provinsi. Sehingga sejak tahun 2017 alokasi DBH-DR sudah ditransfer ke kas daerah provinsi. Untuk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2017 alokasi DBH-DR berjumlah Rp. 14,6 Milyar (Perpres. 97 Tahun 2016 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2017) dan Tahun 2018 berjumlah Rp. 13,5 Milyar.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230 Tahun 2017 tentang Pembangunan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi telah memberikan kepastian dan menunjuk perhutanan sosial sebagai kegiatan yang bisa dibiayai oleh DBH-DR. Ketentuan ini menjadi peluang bagi Provinsi Sumatera Barat dalam mengimlementasikan anggaran DBH-DR. Dalam RKA DBH-DR Provinsi Sumatera Barat bidang pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdapat anggaran sebesar Rp. 2.941.228.365, (Rp. 2,9 Milyar) yang terdiri atas:
Berdasarkan pagu anggaran diatas terdapat Rp. 1 Milyar untuk pengembangan usaha perhutanan sosial. Sedangkan anggaran khusus pengembangan usaha dalam APBD 2018 berjumlah Rp. 1,4 Milyar. Jika dilakukan penggabungan anggaran perhutanan sosial dalam APBD 2018 khusus pengembangan dan DBH-DR, maka terdapat anggaran Rp. 2,4 Milyar sehingga dapat menutupi kekurangan pembiayaan kebutuhan pasca izin dari estimasi anggaran Rp. 3.15 Milyar.
3. Rekomendasi
1) Alokasi Anggaran untuk mendukung pengembangan usaha perhutanan sosial pada periodesasi awal pasca izin, seperti penguatan kapasitas, penyusunan rencana pengelolaan bagi kelompok/lembaga perhutanan sosial perlu di prioritaskan oleh Pemerintah daerah sebagai upaya memastikan kesiapan pengembangan perhutanan sosial yang memberi kontribusi untuk pengentasan kemiskinan.
2) Untuk mendukung pengembangan Perhutanan Sosial di periode awal pasca Izin bagi 113 Lembaga /Kelompok pengelola hutan di butuhkan anggaran Rp 3.149.875.000 sesuai dengan estimasi dalam Tabel 3. Sehingga dari peluang dan ketersediaan anggaran tahun 2018 ini sebesar Rp 2.451.471.800 maka pemerintah daerah perlu memenuhi selisihnya kekurangan anggaran untuk 2019 sebesar Rp. 698.403.200.
3) Pelibatan penyuluh kehutanan untuk melakukan serangkaian kegiatan pengembangan perhutanan sosial pada 172 keseluruhan Kelompok/Lembaga tentunya dapat menekan penggunaan biaya perjalanan dinas dan akomodasi tim selama melakukan kegiatan di lapangan pada penyusunan anggaran mendatang.