Dengan luas Kawasan Hutan 2.600.286 Hektar atau sekitar 61,48 Persen dari total luas wilayahnya. Sudah menjadi keharusan bagi Provinsi Sumatera Barat untuk memiliki sistem pengelolaan hutan lestari dan yang menunjang perekonomian masyarakat di 518 Nagari/Desa yang berada di dalam atau tepi kawasan hutan, karena 57,17 persen dari jumlah Nagari di Sumatera Barat tersebut menggantungkan hidupnya dengan hutan. Namun tak dapat disayangkan pembangunan kehutanan di Sumatera Barat masih diwarnai catatan buruk dan konflik yang menyeret masyarakat, pemerintah juga pihak swasta.
Kasus Ileggal Logging misalnya dari tahun 2007 hingga 2009 terdapat 108 Kasus, disertai Kasus Kabakaran Hutan sebanyak 36 Kasus dalam rentang tahun yang sama. Ditambah dengan konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan rentang waktu hingga 2011 seluas 159.020 Hektar (Statistik Dishut 2010, dan Statistik Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan 2011).
Fakta tersebut tentunya berdampak terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Selama periode 2009-2013 hutan Sumatera Barat mengalami deforestasi seluas 81.830 Hektar sehingga tutupan hutan pada tahun 2013 tersisa 1.663.000 Hektar (Forest Watch Indonesia 2013). Penyumbang laju deforetasi tersebut adalah buruknya tata kelola kehutan yang meminggirkan subjek pengelola (masyarakat) dan banyaknya kawasan hutan yang dibebani izin diluar kegiatan kehutanan. Sehingga kebijakan dan aktifitas pengelolaa hutan selama ini menyisakan kondisi hutan yang buruk, tarik menarik penguasaan hutan antara klaim negara dan masyarakat, yang mana kondisi tersebut mendesak diselesaikan oleh provinsi yang kaya hutan tersebut.
Menyadari konflik yang kian hari semakin masif, sejumlah paket kebijakan yang mengedepankan pengelolaan bersama masyarakat dalam untuk penurunan emisi karbon akibat kerusakan hutan dihadirkan. Terlebih Provinsi Sumatera Barat sebagai 9 provinsi prioritas tingkat referensi emisi data historis laju deforestasi dan lahan gambut di Indonesia. Dengan potensi luasan kawasan hutan Sumatera Barat seperti Kawasan Suaka Alam dan Kawsan Pelestarian Alam berjumlah 806.939 Hektar (19,08 %), Hutan Lindung 791.671 Hektar (18.72 %), Hutan Produksi Terbatas seluas 233.211 Hektar (5.51%), Hutan Produksi 360.608 Hektar (8.53%), dan Hutan Produksi yang dapat di Konversi 187.629 Hektar (4.43%). (SK.35/Menhut-II/2013) dapat dijadikan areal pengelolaan hutan lestari bersama masyarakat lokal/masyarakat adat.
Salah satu dan yang berdampak penting adalah Perhutanan Sosial Sumatera Barat. Keyakinan itu dikukuhkan dengan dialokasikannya 500.000 Hektar Hutan oleh Gubernur Sumatera Barat untuk dikelola oleh masyarakat dengan tahun realisasi 2013 hingga 2017. Berkembangnya perhutanan sosial di Sumatera Barat pada saat ini sudah dirasakan, sudah banyak nagari yang mendapatkan legalitas pengelolaan kawasan hutan, maupun banyak nagari yang saat ini sudah mengusulkan permohonan perhutanan sosial kepada menteri.
Hingga Januari 2017 realisasi Perhutanan Sosial Sumatera Barat menyentuh angka 40.869 Hektar (Data Dishut Sumbar.2017) di tiga skema yaitu Hutan Nagari/Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat. Realisasi tersebut dinilai masih sangat kecil atau hanya 8 persen dari target Gubernur Sumatera Barat.
NO | SKEMA | LUAS (Ha) | % dari target |
1 | Hutan Nagari | 35.118 | 7,0 % |
2 | Hutan Kemasyarakatan | 3.111 | 0,6 % |
3 | Hutan Tanaman Rakyat | 2.246 | 0,4 % |
40.468 Ha | 8,1 % |
Sumber: Direktorat PKPS, Dishut Sumbar Januari 2017
Data tersebut disumbangkan 8 Kabupaten/Kota, dan hingga Tahun 2016 semua Kabupaten yang memiliki hutan sudah mengusulkan permohonan perhutanan sosial bagi masyarakat di masing-masing nagari.
Saat ini terdapat 30 Lembaga dan Kelompok Perhutanan Sosial di Sumatera Barat yang sudah mendapatkan legalitas perizinan untuk mengelola kawasan hutan. Kemudian 17 lembaga sisanya masih menunggu izin HPHD dan IUPHKm. Selanjutnya Pada Tahun 2016 Pemerintah Sumatera Barat mendapat dukungan dari berbagai pihak hingga terdapat 58 Lembaga Pengelola Hutan Nagari serta 13 Kelompok Hutan Kemasyarakatan dalam tahap pengusulan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga Desember 2016, atau seluas 128,671 Hektar lagi akan dikelola oleh masyarakat sebagai areal perhutanan sosial.
No | SKEMA | JUMLAH |
1 | Hutan Nagari | 20 LPHN |
2 | Hutan Kemasyarakatan | 23 Kelompok |
3 | Hutan Tanaman Rakyat | 4 KTH |
47 Lembaga/Kelp |
Namun terdapat perbedaan realisasi perizinan misalnya pada Skema Hutan Nagari luas izin yang sudah mendapatkan Pencadangan Areal Kerja oleh Menteri seluas 49.142 Hektar, sedangkan jumlah Hak Pengelolaan Hutan Desa/Nagari yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Barat seluas 35.111 Hektar, atau terdapat selisih 14.031 Hektar yang belum dikeluarkan izin. Begitu juga dengan Realisasi Pencadangan Areal Kerja oleh Menteri bagi Hutan Kemasyarakatan oleh menteri seluas 10.416 Hektar namun Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang diberikan oleh Bupati/Wali Kota di Sumatera Barat seluas 3.111 Hektar.
Kondisi tersebut merupakan suatu kendala yang musti dijawab oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat, apalagi tahun 2017 merupakan tahun terakhir dari pencapaian target Gubernur Sumatera Barat dalam realiasi Perhutanan Sosial seluas 500.000 Hektar.
Perbedaan luasan wilayah yang diberi izin oleh Menteri dan Gubernur, Bupati/Walikota kepada lembaga/kelompok perhutanan sosial mengindikasikan adanya kendala dalam sistem pemberian perizinan perhutanan sosial, kelemahan itu juga membuat berkurangnya kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan wilayah perhutanan sosial secara lebih luas dan maksimal. Begitu juga dengan realiasi target Sumatera Barat juga akan terhalang.
Permenlhk P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial Sebagai Sebuah Peluang
Pada Bulan Oktober Tahun 2016, ditengah banyaknya perizinan perhutanan sosial di Sumatera Barat yang belum mendapatkan kejelasan, dan ditengah banyaknya permohonan hutan nagari dan hutan kemasyarakatan yang tersangkut lambannya birokrasi didaerah kabupaten lahirlah Permenlhk P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 dengan maksud menjawab kendala lamanya proses perizinan, dan kewenangan pemberian izin. Dengan lahirnya pemerlhk tersebut telah mempersingkat masa/waktu pengurusan izin oleh lembaga/kelompok perhutanan sosial dan telah mempersingkat alur pemberian izin dari oleh pemerintah.
Peta Tumpang Tindih PIAPS Sumatera Barat dengan berbagai izin
Bagi Sumatera Barat lahirnya Pemenlhk P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial ini akan mengatasi sejumlah persoalan seperti terdapatnya 17 Lembaga/Kelompok lainnya yang belum mendapatkan kejelasan status izin. Selanjutnya akan mempercepat realisasi legalitas perizinan 71 lembaga/kelompok Hutan Nagari dan Hutan Kemasyarakatan yang saat ini sedang tahap pengusulan. Pemerintah Sumatera Barat untuk menjawab kendala tersebut dapat mengambil peran strategis yaitu meminta delegasi pemberian izin perhutanan sosial (Hutan Nagari, Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat) sesuai dengan P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial kepada Menteri.
Konsekuensi logis yang akan ditanggung jika Pemerintah Sumatera Barat menerima delegasi pemberian izin adalah pemerintah harus menjadikan perhutanan sosial sebagai prioritas pembangunan provinsi. Gubernur Sumatera Barat akan menjadi palang pintu pertama dalam mengawal pembangunan kehutanan di Sumatera Barat dengan memberikan alokasi yang besar kepada masyarakat pinggir hutan, yang harus dijamin haknya dan disejahterakan hidupnya. Selanjutnya percepatan pemberian perizinan serta maksimalnya luasan areal perizinan akan dirasakan masyarakat. Gubernur Sumatera Barat harus mengkoordiniasikan setiap organisasi perangkat daerah untuk berkontribusi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
Peta Tumpang Tindih Kawasan Hutan Sumatera Barat dengan berbagai izin
Kedinasannya masing-masing. Karena selama ini perhutanan sosial masih menjadi domain dinas kehutanan semata, dan belum ada sinergisitas bersama antar masing-masing Organisasi perangkat daerah untuk memberikan dukungan kepada kelompok/lembaga perhutanan sosial di Nagari. Padahal contoh ini sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo kepada seluruh Kementerian & Lembaga untuk mendukung perhutanan sosial dalam program kerja masing-masing.
Serta dengan delagasi tersebut, kawasan hutan yang dimasukkan dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dengan persetujuan masyarakat dapat diamankan dari penggunaan kawasan hutan oleh kegiatan non kehutanan. Sehingga alokasi Perhutanan Sosial dalam PIAPS Provinsi Sumatera Barat itu diikuti komitmen singkronisasi peruntukan kawasan dalam RTRW Provinsi. Karena sampai saat ini masih terdapat tumpang tindih peta PIAPS Sumatera Barat dengan Peta IUP Pertambangan, ataupun masih terdapat pemukiman dan sawah yang masuk dalam PIAPS dan ini mendesak harus segera disingkronisasi dan diselesaikan, karena PIAPS merupakan dasar pemberian perizinan perhutanan sosial.
Hutan Adat Belum menjadi Prioritas
Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Kehutanan telah menjadi dasar lahirnya Hutan Adat di Indonesia, kemudian dengan lahirnya Permenlhk Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak telah menjelaskan bagaimana mekanisme pengusulan dan verifikasi hutan hak tersebut. Namun hingga tahun 2016 akhir belum ada usulan permohonan hutan adat dari Sumatera Barat. Rendahnya realisasi Provinsi Sumatera Barat dipengaruhi juga karena belum adanya hutan adat dari Sumatera Barat yang ditetapkan oleh menteri.
Peta Indikatif Wilayah Adat Malalo Tigo Jurai
Kendala itu dipengaruhi oleh perbedaan persyaratan pengusulan antara Skema Hutan Adat dengan Skema dalam Perhutanan Sosial lainnya. Kemudian masih belum adanya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, padahal skema hutan adat merupakan skema yang dapat menjamin hak masyarakat adat secara kuat dengan bentuk kepemilikan hingga pengelolaan hutan, disemua fungsi hutan yang ada dalam kawasan hutan. Artinya pemerintah daerah harus lebih memperluas ruang pengetahuan bagi masyarakat agar dapat mengakses dan menyiapkan hutan adat di wilayah adatnya.
Saat ini hutan adat yang sedang berproses di Sumatera Barat yaitu Masyarakat Hukum Adat Malalo Tigo Jurai dan Masyarakat Hukum Adat di Mentawai merupakan dukungan murni dari gerakan masyarakat sipil. Sinergisitas dan dukungan dari pemerintah daerah baik Kabupaten maupun Provinsi dibutuhkan dalam konteks ini. Sehingga menyiapkan masyarakat ditingkat nagari (komunitas), persetujuan batas, dan persiapan peraturan daerah kabupaten tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat bisa dipercepat. Sebagai wilayah yang memiliki entitias suku Minangkabau dan suku Mentawai terbesar seharunsya mendorong skema hutan adat sudah harus dilakukan karena pengelolaan hutan secara adat selama puluhan tahun telah terbukti berhasil dalam menjaga ekosistem alam dan kehidupan. Dengan memberikan hak terhadap hutan adat kepada masyarakat hukum adat, keberhasilan ini juga akan menunjang realisasi perhutanan sosial Sumatera Barat.
Optimalisasi dan Efesiensi Anggaran Perhutanan Sosial
Kendala selanjutnya yang menghambat realisasi perhutanan sosial Sumatera Barat adalah belum terakomodirnya anggaran yang mumpuni untuk mendukung beban realisasi perhutanan sosial di Sumatera Barat. Jika dirunut lebih dalam terhadap gerakan perluasan dan pengembangan Perhutanan Sosial dari biaya yang dialokasikan Dinas Kehutanan Sumbar dalam APBD tahun 2016-2021 tergambar kondisi “besar target tapi kecil anggaran” atau target tidak seimbang dengan support anggaran yang disediakan untuk pencapaian target tersebut.
Jumlah anggaran yang diperuntukkan secara langsung untuk kegiatan Perhutanan Sosial di Sumatera Barat dalam program perencanaan dan pengembangan hutan adalah sebesar 1,8 Milyar. Dapat diketahui jumlah itu merupakan anggaran yang sangat kecil sedangkan anggaran belanja pakaian dinas harian (PDH) pemerintah provinsi 10 kali lipat lebih besar atau menelan dana 10,4 Milyar.
Anggaran perhutanan sosial pada anggaran Dinas Kehutanan sebesar 1,8 M atau 2,6 % dari belanja Dishut tersebut, sebesar 42 persennya telah dialokasikan pula untuk peningkatan kapasitas/pelatihan. Sehingga anggaran yang kecil itupun belum secara keseluruhan menyentuh kegiatan perluasan dan pengembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Barat.
Dari APBD Provinsi Sumatera Barat diketahui jumlah belanja Dishut hanya, 1,13 % dari total belanja Provinsi Sumatera Barat. Jika dilihat dari peruntukan anggarannya, pada Dishut Provinsi hanya 0,37 % yang diperuntukkan pada belanja kegiatan atau belanja program, sedangkan sisanya 0,76 % akan digunakan untuk belanja tidak langsung seperti gaji dan tunjangan. Dari besaran alokasi anggaran tersebut nyata bahwa politik anggaran Provinsi Sumatera Barat belum sesuai dengan target yang dicanangkan. Sehingga realisasi juga tidak akan berdampak besar terhadap masyarakat. Tentunya perubahan anggaran yang dapat mengakomodir semua aspek pembiayaan perhutanan sosial harus disiapkan.
Kemudian jika Sumatera Barat akan mengambil delegasi pemberian perizinan perhutanan sosial dari menteri, tentunya harus menyiapkan anggaran seperti pendampingan, pemetaan dan verifikasi perhutanan sosial. Jika tidak siklus perhutanan sosial Sumatera Barat tidak akan bergerak maju.
Rekomendasi
- Gubernur Sumatera Barat harus memimpin komitmen bersama seluruh organisasi perangkat daerah untuk mendukung perhutanan sosial dalam rencana kerja masing-masing kedinasan. Termasuk singkronisasi wilayah perhutanan sosial dalam PIAPS yang diketahui tumpang tindih dengan sektor non kehutanan lainnya.
- Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus mendorong lahirnya hutan adat di Sumatera Barat.
- Pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus menaikkan anggaran perhutanan sosial, untuk kegiatan perluasan dan pendampingan pasca izin bagi lembaga/kelompok perhutanan sosial di Sumatera Barat.
- Apabila Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akan mengambil delegasi pemberian perizinan perhutanan sosial, maka harus disiapkan peraturan gubernur menganai tata cara pemberian perhutanan sosial dan mekanisme kinerjanya di daerah, agar lebih mempercepat proses perizinan perhutanan sosial untuk realiasi perhutanan sosial yang lebih besar lagi.