Hari Ozon Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 16 September. Tahun ini, Hari Ozon Sedunia diperingati pada hari Jum’at tanggal 16 September 2022 dengan tema resmi dari United Nations Environment Programme (UNEP), yaitu : “Protokol Montreal @35: Global Cooperation Proteting Life on Earth”. Menurut Sekjen PBB, Antonio Guterres, dalam pernyataan resminya untuk peringatan hari ozon sedunia tahun 2022, bahwa “Protokol Montreal mengakhiri salah satu ancaman terbesar yang pernah dihadapi umat manusia secara keseluruhan, yakni penipisan lapisan ozon. Ketika dunia mengetahui bahwa gas perusak ozon yang digunakan dalam aerosol dan pendinginan menciptakan lubang di langit, mereka bersatu. Hal ini menunjukkan bahwa multilateralisme dan kerja sama global yang dilakukan secara efektif akan berhasil, sehingga Negara-negara di dunia menghapus penggunaan gas-gas ini secara bertahap. Sekarang lapisan ozon sedang pulih, sehingga memungkinkannya sekali lagi untuk melindungi umat manusia dari radiasi ultraviolet matahari”[1].
Kerjasama global yang dilakukan secara efektif dan berkelanjutan memungkinkan pemulihan ekosistem dan melindungi kehidupan dibumi dan memperlambat perubahan iklim. Selain itu pelarangan menggunakan bahan kimia perusak ozon akan menyelamatkan kehidupan manusia, karna jika tidak ada pelarangan penggunaan bahan kimia perusak ozon tersebut, maka menurut para ahli di akhir abad ini akan ada kenaikan suhu global sebesar 2,5 °C dan itu akan menjadi bencana dunia.
Selain itu perubahan iklim juga berpengaruh terhadap peningkatan suhu udara. Suhu udara di Indonesia pada 30 tahun terakhir naik sekitar 0,1 derajat celsius. Kenaikan tersebut terlihat kecil, namun dunia telah membatasi bahwa sampai tahun 2030 perubahan suhu tidak boleh lebih dari 1,5 derajat celcius. Sementara itu hingga tahun 2020 ini kenaikan suhu di Indonesia sudah hampir mencapai 1,6 derajat Celsius sejak 1866 (Siswanto et al, 2016).
Untuk itu Pemerintah Indonesia melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi pada perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dengan adanya perubahan iklim. Caranya yaitu dengan mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya sedangkan Mitigasi merupakan upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Sebab kita semua tahu dampak lingkungan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan merupakan bagian dari gejala alam. Jika tidak dilakukan mitigasi, maka bisa saja bencana alam terjadi.
Sikap Indonesia untuk mendukung upaya Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim terutama ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), salah satu manfaat dari ratifisikasi ini adalah “Peningkatan pengakuan atas komitmen nasional dalam menurunkan emisi dari berbagai sektor, pelestarian hutan, peningkatan energi terbarukan dan peran serta masyaraka lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia”.
Disisi lain, juga mendorong Para Pihak untuk mengambil aksi guna mengimplementasikan dan mendukung, termasuk melalui sistem pembayaran berbasis hasil, kerangka kerja yang sudah ada sebagaimana ditetapkan dalam pedoman dan keputusan terkait yang telah disepakati menurut Konvensi untuk pendekatan kebijakan dan insentif positif bagi kegiatan yang berkaitan dengan penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peranan konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang; serta pendekatan kebijakan alternatif, seperti pendekatan mitigasi bersama dan adaptasi untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan terpadu, sekaligus menegaskan kembali pentingnya pemberian insentif, secara patut, pada manfaat non-karbon terkait dengan pendekatan tersebut.
Keseriusan Indonesia untuk urusan penanganan isu perubahan iklim ini, tergambar pada inisiasi “Indonesia FoLU Net-Sink 2030”. Komitmen ini merupakan pencanangan pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya atau FoLU (Forestry and other Land Use). Kemudian untuk memperkuat inisiasi tersebut dikeluarkanlah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tentang FoLU Net Sink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada tanggal 24 Februari 2022.
Kepmen LHK No. 168 tahun 2022 tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia mengusung konsep FoLu Net Sink 2030 sebagai sebuah pendekatan dan starategi dimana pada tahun 2030, tingkat serapan emisi sektor FoLU ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya (Net Sink). Sehingga diharapkan pada tahun 2030 Indonesia dapat melakukan pengurangan emisi sebanyak 29% dengan usaha sendiri dan dapat meningkat hingga 41% dengan dukungan international.
Salah satu cara penerapan FoLU Net Sink ini adalah dengan mengembangkan Perhutanan Sosial di tingkat tapak. Karena Perhutanan Sosial bertujuan untuk mensejahterakan komunitas setempat atau masyarakat adat dengan menerapkan pola pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Sehingga dapat menahan laju deforstasi dan degrasasi hutan dan lahan di Indonesia.
[1] Pernyataan sekjen PBB di https://ozone.unep.org/montreal-protocol-global-cooperation-protecting-life-on-earth