bagaimana menurut anda UU Desa dalam konteks sumatera barat
Saya melihat bahwa Sumatera Barat masih premature dalam merespon implementasi UU Desa. Hal ini dikarenakan, kebingunan pemerintahan Provinsi Sumatera Barat, berserta Pemeritahan Kabupaten/Kota dalam memandang dan menempatkan Nagari sebagai sebuah unit pemerintahan atau nagari sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum adat. hal ini dapat kita lihat bahwa, selama ini nagari dalam teks (Perda No. 2 Tahun 2007) memandang bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur pemerintahan dan masyarakatnya yang bersendikan kepada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Artinya, ada dua kewenangan yang sekaligus melekat dalam tubuh nagari saat ini. yakni, kewenangan pemerintahan sebagai stuktur birokrasi dan kewenangan pemerintahan dalam konteks masyarakat hukum adat. Nah, dalam perjalanannya, karena legitimasi nagari dalam menjalankan fungsi ada melekat pada Kerapatan Adat Nagari dan fungsi pemerintahan administrasi melekat pada Pemerintahan Nagari (Wali Nagari). sering kita temukan persoalan dalam tubuh nagari yakni :
- tumpah tindih penyelenggaran kewenangan antara KAN dengan Pemerintahan Nagari, misal dalam hal pemugutan retribusi sumber daya alam. Karena selama ini, pada ninik mamak melekat hak untuk memungut pajak (retribusi) seperti yang dinyatakan pepatah adat, “Karimbo babungo kayu, kalauik babungo karang, kasungai babungo pasia”, sistem bungo ini yang dikenal sebagai pajak. Namun, terkadang dalam penerapannya pemasukan retribusi tersebut dipungut dan masuk dalam kas pemeritahan nagari. sehingga, terkadang KAN, sebagai lembaga nagari yang mewadahi ninik mamak dalam nagari tidak dapat menikmati apa yang seharusnya menjadi hak mereka. artinya, menurut saya harus ada perbedaan cara pandang dalam melihat nagari sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum adat dengan memndang nagari dalam bentuk pemeritahan nagari. karena akan tersangkut persoalan kewenangan dan penguasaan aset-aset dan harta kekayaan dalam nagari.
- label nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat ini, cukup membingungkan, contoh : beberapa nagari yang penduduknya itu adalah masyarakat tempatan (transmigrasi) misalnya di penghujung Kab. Pasaman Barat, di pinggaran Kab. Dharmasraya serta Solok Selatan, tapi karena dikotomi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, serta sebuah nagari harus memiliki Kerapatan Adat Nagari. Maka, saya memandang seakan-akan adat budaya Minangkabau, adat minang dipaksakan untuk siap digunakan oleh masyarakat tempatan tersebut, yang sebenarnya mereka memiliki budaya, hukum adat dan struktur adat tersendiri yang berbeda dengan Adat Minangkabau, walaupun kita sebenarnya memiliki falsafah Adat Salingka Nagari. Persoalan ini cukup membingungkan.
- Persoalan wilayah adat, saya bersama kawan-kawan di Perkumpulan Qbar, belum menemukan benang merah batas wilayah adat nagari dengan batas wilayah administrasi nagari. dibeberapa nagari, memang batas administrasi itu langsung wilayah adatnya, tapi ada juga nagari yang wilayah adatnya melampaui batas administrasi, hal ini yang terkadang menjadi sumber konflik tapal batas antar nagari, yang selama ini banyak kita temukan.
- KAN sebagai peradilan adat dalam konteks sako dan pusako, hal ini yang melemah sepertinya dalam tubuh nagari. Karena, seperti pengamatan kita banyak dari anak kemenakan yang melewati prosedur peradilan adat di tingkat nagari, dan langsung ambil jalur by pass ligitasi ke peradilan negeri. Sehingga, terkadang putusan itu tidak sesuai dengan jalur adat yang ada. Artinya, dibutuhkan penguatan peradilan adat di tingkat nagari, agar memiliki gigi untuk siap mencari jalan tengah persoalan anak kemanakan dalam nagari. disamping itu, yang harus digaris bawahi adalah bagaimana kedepan kita di Ranah Minang ini mengambilkan kepercayaan anak kemanakan agar ketika ada persoalan sako dan pusako (keperdataan) itu langsung diselesaikan melalui sistem adat di nagari dan KAN dapat mengisi ruang-ruang legitimasi setiap kebijakan yang diambil oleh ninik mamak.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membagi dua bentuk desa, yakni desa dan desa adat. desa adat ini yang sering kita pahami bahwa sebagai ruh nagari. Undang-undang ini mengakomodir hak asal usul dan susunan asli. Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian secara umum bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakt, hak asal usul, dan/ atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.
Dalam memandang desa dan desa adat, ada dua hal yang membedakan desa dengan desa adat. yakni pelaksanaan hak asal usul, terutama menyangkut pelestasian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Artinya dalam desa adat memberi ruang agar susunan asli yang ada pada desa adat diberdayagunakan untuk mengoptimalisasi hak asal-usul masyarakat hukum adat. Untuk lebih lanjutnya kewenangan Desa adat berdasarkan hak asal usul dapat kita lihat pada Pasal 103 UU Desa.
Saya melihat bukan nagari di Sumatera Barat ini yang harus menyesuaikan diri terhadap keberadaan UU Desa, tapi bagaimana perda nagari kedepan disesuaikan dengan konteks nagari kekinian. Artinya, butuh kajian mendalam dalam memandang seperti apa saat ini nagari dan format apa yang cocok, agar dapat menjawab persoalan-persoalan diatas. Secara khusus, saya sangat tertarik dengan Perda Kabupaten Pasaman No. 12 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Nagari dan Perda Kabupaten Pasaman No. 13 Tahun 2011 tentang Nagari. Dua perda kabupaten ini dapat menjadi contoh bagaimana menerapkan nagari dalam konteks pemerintahan dengan nagari sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum adat.
apa peluang dan tantantagan
Sumatera Barat memiliki peluang besar untuk mengembalikan ruh nagari yang selama ini saya melihat bias dalam memahami apa itu nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Minangkabau. Tapi, tentu kita sadari bahwa nagari yang ada sekarang berbeda jauh dengan bentuk-bentuk nagari yang hidup sebelumnya. Dengan demikian, nagari kekinian menjadi jawaban untuk menghadapi UU Desa agar, masyarakat tidak gagap dalam mempersiapkan dan menjalankan format Nagari kedepan. Menghidupkan kembali kewenangan susunan asli dan strukrur asli di Nagari menjadi impian orang Minang, namun apa yang hidup dan berkembang sekarang harus disadari dan berbenah bagaimana menghidupkan kembali nilai-nilai yang nyaris pudar ditingkat masyarakat nagari.
Salah satu contoh misalnya bagaimana kedepan peluang hutan adat pasca Putusan MK/35 tahun 2012 itu dapat diimplementasikan. Karena, ini peluang konkret yang seharusnya dapat digapai oleh masyarakat hukum adat di Ranah Minang. Namun, hal ini menurut saya sejalan dengan penerapan UU Desa terkhusus Desa Adat. otonomi penguasaan kekayaan dan aset nagari terkhusus ulayat nagari berpeluang besar untuk dapat diakses dan kelola oleh masyarakat. pengelolaanya pun tentu dengan menyanding kearifan lokal yang hidup dan berkembang selama ini ditengah masyarakat. peluang pengutan peradilan adat pun terbuka lebar, sebagai sebuah lembaga yang dapat menjadi solusi penyelesaian sengketa adat ditingkat paling bawah, dan mencari keadilan melalui sebuah kebijakan yang tidak memangkan atau mengalahkan, karena tujuannya adalah mencari kedamaian dan kemaslahatan masyarakat di nagari.
Kita memiliki tantangan besar juga, karena kita harus menyatukan pemahaman dalam memandang Nagari sebagai pemerintahan dan kesatuan masyarakat adat. hal ini penting, agar dapat menjawab nagari-nagari tempatan yang bukan berasal dari susunan asli dan hak asal-usul. Bagaimana kedepan nagari tidak digenenalisir sebagai sebuah kesatuan masyarakat adat, tapi adakalanya sebuah nagari itu adalah sebuah pemerintahan administasi saja, ini juga akan menjawab persoalan pemekaran-pemekaran nagari yang banyak dilakukan pada saat “desa” diberlakukan di Sumatera Barat, sebelum kita “Babaliak Ka Nagari”. artinya, melalui pemahaman ini, setidaknya kita dapat menemukan benang merah dalam memadang batas wilayah adat dengan batas wilayah administrasi, kewenangan kepemilikan dan pengelolaan aset dan kekayaan nagari.
Tertib administrasi dalam pola keuangan ditingkat nagari menjadi salah fokus perhatian yang tak terelakkan. Karena kedepan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) akan dua sumber pendanaan yakni Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBD Kabupetan/Kota dan dari APBN yang diperuntukkan bagi desa. Dengan demikian, dalam sebuah nagari dibutuhkan staf keuangan yang paham dengan sistem keuangan tersebut, baik dari teknis perencanaan hingga pelapora.
Perlu kita catat bahwa, kondisi riil nagari kekinian, peluang dan tantangan nagari dalam menyambut UU Desa perlu diterjemahkan dalam sebuah Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Siap atau tidak siapnya nagari kedepan dalam menyambut UU Desa tergantung pada substansi hukum perda provinsi, agar budaya hukum yang mengandung kearifan lokal tersendiri ditingkat nagari sesuai dan dapat dijalankan oleh struktur pemerintahan dan struktur adat di Nagari. Oleh karena itu, harapan terbesar itu ada pada pemerintah-pemerintah nagari, Kerapatan Adat Nagari serta pemerintah kabupaten/kota agar perumusan perda tentang nagari (pasca UU Desa) dapat mengakomodir kondisi riil nagari kekinian dan dapat menjawab persoalan-persoalan yang saat ini tengah dihadapi oleh nagari.
Oleh : First San