Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasayarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutananan (Pasal 1 Permenlhk Nomor P. 83/menlhk/setjen/kum.1/2016 tentang Perhutanan Sosial). Tujuan utama dalam mendorong Perhutanan Sosial adalah untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masayrakat dan kelestarian sumber daya hutan.
Kawasan Hutan
Objek utama dalam kegiatan Perhutanan Sosial adalah kawasan hutan. Tentu, sebelum mendorong pengusulan Perhutanan Sosial masyarakat harus memahami kedudukan kawasan hutan dan alasan kenapa Perhutanan Sosial ini menjadi peluang bagi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hutan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tentang Uji Materi UU No. 41 Tahun 1999).
Pengertian Kawasan Hutan diatas ternyata menjadi persoalan bagi beberapa daerah, hal ini melatarbelakangi Uji Materi Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan oleh Lima Bupati (Kabupaten Kapuas, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Katingan, Kabupaten Barito Timur dan Kabupaten Sukamara). Karena frasa “ditunjuk” dipandang sebagai tindakan pengabaian dan pengingkaran pemerintah terhadap pengakuan pihak terkait dan masyarakat yang terkena dampak dari penunjukan kawasan hutan, yang dilakukan tanpa pelibatan dan persetujuan pihak terkait dan masyarakat. Ketiadaan informasi terhadap dampak yang ditimbulkan dari penunjukan kawasan hutan tersebut, berakibat pada terampasnya hak milik atas tanah dan sumber daya alam diatasnya. Disisi lain, juga menyebar rasa ketakutan bagi masyarakat dalam memanfaatkan tanah, kebun dan ladang yang sudah diolah selama ini, yang secara sepihak dinyatakan sebagai kawasan hutan.
Uji materi yang dilakukan oleh empat Bupati tersebut ditanggapi positif oleh Hakim Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45 Tahun 2011. Dalam memutus permohonan ini Mahkamah berpendapat bahwa Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan Freies Ermessen (discretionary power). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.
Penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan menyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan, dilakukan melalui proses berikut : a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan. Berdasarkan hal ini frasa “ditunjuk dan atau” menurut mahkamah bertentangan UUD 1945, sehingga merubah pengertian kawasan hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan yakni “Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap.” Keberadaan kawasan hutan ini yang lebih lanjut diturunkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang dilampiri dengan Peta Kawasan Hutan. Peta inilah yang kemudian disesuaikan dengan peta administrasi kabupaten maupun desa atau nagari.
Selanjutnya Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari Hutan Negara dan Hutan Hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (Pasal1 angka 4 UU Kehutanan). Lalu apa hak atas tanah ? hak atas tanah ditegaskan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Hak atas tanah merupakan turunan dari hak menguasai negara. Hak menguasai negara menempatkan negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang berwenang untuk (Pasal 2 UU PA) :
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas permungkaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-bersama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah ini pula yang member wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU PA).
PIAPS
PIAPS (Peta Indikatif Perhutanan Sosial) adalah peta yang memuat areal kawasan hutan negara yang dicadangkan untuk perhutanan sosial (Pasal 1 angka 16 Permenlhk tentang Perhutanan Sosial). PIAPS menjadi dasar dalam pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR).
PIAPS ditetapkan melalui harmonisasi peta yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan peta yang dimiliki oleh lembaga swadaya masyarakat dan sumber-sumber lain serta merupakan hasil konsultasi dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan para pihak terkait. PIAPS ditetapkan oleh Menteri dan direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali oleh Direktur Jenderal yang membidangi Planogi Kehutanan dan Tata Lingkungan atas nama Menteri
Kata kunci dari PIAPS adalah kawasan hutan negara,
Oleh : First San Hendra Rivai